E.Warganegara dan Negara
Negara, Warga Negara, dan Hukum
Negara merupakan alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Negara mempunyai dua tugas yaitu :
1. Mengatur dan mengendalikan gejala-gejala kekuasaan yang asosial,
2. Mengorganisasi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan
Bentuk Negara
1. Negara kesatuan
2. Negara serikat
Bentuk kenegaraan
1. Negara dominion 3. Negara protectoral
2. Negara uni
Unsur-unsur Negara
1. Harus ada wilayah 4. Harus ada tujuan
2. Harus ada rakyat 5. Harus ada kedaulatan
3. Harus ada pemerintah
Tujuan Negara
1. Perluasan kekuasaan semata
2. Perluasan kekuasaan untuk mencapai tujuan lain
3. Penyelenggaraan ketertiban umum
4. Penyelenggaraan kesejahteraan Umum
Sifat-sifat kedaulatan
1. Permanen 3. Tidak terbagi-bagi
2. Absolut 4. Tidak terbatas
Sumber kedaulatan
1. Teori kedaulatan Tuhan 3. Teori kedaulatan Rakyat
2. Teori kedaulatan Negara 4. Teori kedaulatan hukum
Ciri hukum adalah :
- Adanya perintah atau larangan
- Perintah atau larangan itu harus dipatuhi oleh setiap masyarakat
Sumber hukum formal antara lain :
- Undang-undang (statue)
- Kebiasaan (costun )
- Keputusan hakim (Yurisprudensi)
- Traktaat ( treaty)
- Pendapat sarjana hukum
Pembagian hukum
1. Menurut “sumbernya” hukum dibagi dalam :
- Hukum undang-undang - Hukum kebiasaan
- Hukum Traktat -Hukum Yurisprudensi
2. Menurut “bentuknya” hukum dibagi dalam :
- Hukum tertulis -Hukum tak tertulis
3. Menurut “tempat berlakunya” hukum dibagi dalam :
- Hukum nasional -Hukum Asing
- Hukum Internasional - Hukum Gereja
4. Menurut “waktu berlakunya “hukum dibagi dalam :
- Lus constitum -Hukum asasi
- Lus constituendem
5. Menurut “cara mempertahankannya” hukum dibagi dalam :
- Hukum material -Hukum formal
6. Menurut “sifatnya” hukum dibagi dalam :
- Hukum yang memaksa -Hukum yang mengatur
7. Menurut “wujudnya” hukum dibagi dalam :
- Hukum obyektif -Hukum subyektif
8. Menurut “isinya” hukum dibagi dalam :
- Hukum privat -Hukum public
F.Pelapisan Sosial Dan Kesamaan Derajat
Terjadinya pelapisan sosial
1. Terjadi dengan sendirinya.
2. Terjadi dengan disengaja
Sistem organisasi yang disusun mengandung dua sistem ialah :
- Sistem fungsional
- Sistem scalar
Pembagian sistem Pelapisan Menurut Sifatnya
1. Sistem pelapisan masyarakat yang tertutup
2. Sistem pelapisan masyarakat yang terbuka
Kesamaan Derajat
Cita-cita kesamaan derajat sejak dulu telah diidam-idamkan oleh manusia. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia adalah sama. PBB juga mencita-citakan adanya kesamaan derajat. Terbukti dengan adanya universal Declaration of Human Right, yang lahir tahun 1948 menganggap bahwa manusia mempunyai hak yang dibawanya sejak lahir yang melekat pada dirinya. Beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal.
Indonesia, sebagai Negara yang lahir sebelum declaration of human right juga telah mencantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945 hak-hak azasi manusia. Pasal 27(2) UUD 1945 dan Pasal 29(2) UUD 1945
Elite dan Massa
Elite merupakan sekelompok orang yang dalam masyarakat yang menempati kedudukan tinggi atau sekelompok orang terkemuka di bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan kecil yang memegang kekuasaan.
Kecenderungan untuk menetukan elite didalam masyarakat
1. Menitikberatakan pada fungsi sosial
2. Pertimbangan-pertimbangan yang bersifat moral
Kecenderungan ini melahirkan dua macam elite
1. Elite internal
2. Elite eksternal
Massa dipergunakan untuk menunjukkan suatu pengelompokkan kolektif lain yang elementer dan spontan
Ciri-ciri massa adalah :
1. Keanggotaannya berasal dari semua lapisan masyarakat atau strata social
2. Massa merupakan kelompok yang anonym
3. Sedikit interaksi atau bertukar pengalaman antar anggota-anggotanya
Studi Kasus
POLITISASI HUKUM MEDIA DALAM PRAKTEK NEGARA KEKUASAAN (STUDI KASUS PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG PENYIARAN)
Bambang, Sadono (2005) POLITISASI HUKUM MEDIA DALAM PRAKTEK NEGARA KEKUASAAN (STUDI KASUS PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG PENYIARAN). Jurnal Hukum Progresif, 1 (2). pp. 1-14. ISSN 1858-0254
Abstract
Falsafah negara Pancasila menegaskan prinsip kerakyatan atau demokrasi. Sementara itu Undang-undang Dasar 1945 secara eksplisit menyebut bahwa Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Ketika puncak krisis multidimensi terjadi di Indonesia, tahun 1998, yang kemudian mendorong gerakan reformasi, selain terjadi krisis ekonomi, politik, sosial, di dalamnya juga termasuk krisis hukum. Krisis kepercayaan terhadap sistem hukum itu bisa dilihat dari indikasi proses pembuatan perundang-undangan dan praktek penegakan hukum yang tidak berjalan sesuai dengan konsep negara hukum yang ditegaskan dalam konstitusi negara. Kesenjangan antara hukum yang ada dengan aspirasi yang kongkret di tengah masyarakat bisa terjadi karena ada kepentingan politik. Penyimpangan itu bisa terjadi dengan bantuan politik kekuasaan yang cukup dominan, yang dalam bahasan kemudian disebut sebagai politisasi hukum. Kajian ini lebih menyoroti pada proses politisasi pembentukan hukum. Dalam hal ini proses pembentukan undang-undang di DPR. Antara lain untuk menjawab pertanyaan bagaimana caranya agar bisa dihasilkan undang-undang yang ideal menurut standar yang universal. Untuk mempertajam bahasan, penulis mengambil kasus Undang-Undang Penyiaran, UU Nomor 24/1997, sebagai kasus untuk menjelaskan secara kongkret bentuk-bentuk politisasi hukum, yang sangat mengganggu dalam membangun sistem kenegaraan yang demokratis. Penelitian dalam kajian ini mencoba menggabungkan penelitian analisis, dan deskriptif. Penelitian ini juga bisa dikatagorikan sebagai penelitian yuridis empiris, karena penulis langsung mengikuti proses pengusulan maupun pembahasan UU Penyiaran yang menggantikan UU 24/1997, yang menjadi fokus penelitian ini. Penelitian menemukan bahwa untuk memperoleh hukum dalam hal ini undang-undang yang ideal, harus dijaga masuknya kepentingan (politisasi), baik kepentingan penguasa, atau kepentingan kelompok lain yang diselundupkan melalui kekuatan dominan dalam pembahasan undang-undang di DPR. Politisasi hukum terjadi karena elite yang memegang kekuasaan selalu mempunyai kepentingan yang ingin dikukuhkan dalam bentuk produk hukum, sementara kontrol dari masyarakat, baik dari DPR, pers, dan lembaga kemasyarakatan yang lain sangat lemah. Atau bahkan terjadi konspirasi antar-elite tersebut, baik yang ada di pemerintah, DPR, maupun lembaga kemasyarakatan yang lain, untuk memasukkan kepentingan mereka dalam undang-undang. Untuk membentuk hukum yang lebih responsif dan meminimalisir adanya politisasi dalam pembentukan hukum, dalam hal ini undang-undang, harus diciptakan sistem untuk mempersempit ruang gerak tak terkontrol, baik dari pihak eksekutif maupun legislatif, yang memungkinkan terjadinya politiasi undang-undang. Masyarakat, khususnya komunitas khusus sesuai bidang perundang-undangan yang bersangkutan, harus aktif mengawal proses legislasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar